« sepedaku menungguku dan puisi dari seorang teman
“once upon a time in Saponda” dan puisi dari seorang teman »
Agustus 1971, setelah 8 tahun menjadi ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara, untuk pertama kalinya kota kendari memiliki sebuah tempat hiburan malam “modern” di tempat yang representatif di masa itu. Kendari Teather, demikian namanya, sebuah bioskop yang untuk pertama kalinya dimiliki oleh warga kota kendari. Sebuah kemewahan yang mungkin sebelumnya cuma dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga yang kebetulan beruntung dapat menikmatinya di kota besar seperti Makassar ataupun Jakarta.
 |
sekedar menoleh ke belakang |
 |
the monument : Philips FP5 "..since 1971.." |
Tak pernah ada penelitian tentang seberapa besar pengaruh kehadiran bioskop tersebut terhadap pola kehidupan warga kota kendari saat itu. Namun hampir bisa dipastikan, sebagai satu-satunya tempat hiburan malam yang modern di masa itu, tentulah Kendari Teather menjadi sesuatu yang penting bagi warga kota Kendari. Apa yang baru di Kendari Teather selalu menyita perhatian masyarakat, khususnya generasi muda. Bagaimana tidak, disitulah mereka untuk pertama kalinya menyaksikan bagaimana kocaknya Benyamin Sueb dalam film Intan Berduri atau bagaimana tragisnya peran Slamet Raharjo dan Leny Marlina dalam film Ranjang Pengantin. Belum lagi rancaknya musik dan goyangan film India lewat aktor-aktor Bollywood yang terkenal di masa itu, semisal Amitabh Bachchan dan film-filmnya yang begitu menggoda penonton semisal film Zanjeer, Sholay, dan Deewar serta dahsyatnya bela diri jagoan-jagoan kung fu dari Hongkong seperti Bruce Lee dan Jacky Chan dalam filmnya semisal Fist of Fury dan Snake in the Eagle Shadow. Semua itu secara perlahan dan pasti masuk menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda saat itu. Era 70-an hingga 80-an bisa dikatakan sebagai masa kejayaan dari Kendari Teather. Meski sempat mendapat pesaing dengan dibangunnya gedung bioskop Benteng beberapa tahun setelah kelahirannya, Kendari Teather terbukti mampu bertahan hingga awal tahun 90-an, sedangkan bioskop Benteng sendiri tak mampu melewati era 80-an.
 |
Simon Potta, mengawal mesin proyektor film di gedung Kendari Teater sejak 1971 |
 |
pita yang tersisa |
 |
terpelihara. setiap detil dari mesin proyektor film masih cukup terpelihara |
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan dan perluasan kota Kendari yang justru meninggalkan titik awalnya, perlahan-lahan merengut peran penting Kendari Teater dan kota lama. Kota lama Kendari tidak lagi penting dan Kendari Teater tidak lagi menarik. Kehadiran video dan VCD serta membanjirnya stasiun Televisi yang menyajikan beragam tontonan serta hiburan yang disajikan langsung ke ruang makan pemirsa juga menjadi pukulan yang cukup telak bagi Kendari Teather. Hingga di paruh awal 90-an, ditandai dengan munculnya sebuah gedung bioskop baru yang berada dipusat kota yang baru di kawasan Mandonga serta memiliki fasilitas yang jauh lebih modern dan film-film yang lebih up to date, akhirnya Kendari Teater tak mampu lagi bertahan. Saat ini yang tersisa tinggalah gedungnya yang telah beralih fungsi serta kenangan akan masa silamnya yang sempat menjadi bagian penting dari masyarakat kota kendari.
Sumber http://arelanophotographic.wordpress.com/2011/03/26/kendari-teater-riwayatmu-kini/
0 komentar:
Posting Komentar