Show Mobile Navigation

Whats Hot

Ini Adalah bla bla

Sabtu, 06 September 2014

Rona Kuno Kota Lama, Romansa Abad ke-19

yes - 15.38



Di bawah terang bulan, rona kuno mencuat kentara di profil jendelanya, di tekstur bangunannya. 

Toko tua di Kota Lama, Kendari, gurat lelah terpancar di wajahnya. 

Cat usang, tembok keriput, dibaluri debu berkarat. Sebuah view kenang-kenangan abad ke-19

Ada godaan konyol ingin mengorek debunya. Debu bertumpuk dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, sejak pertama kali dibangun. 

Siapa tahu di antaranya ada debu tahun 1920. Tahun yang mendai kedatangan pedagang Cina dan Arab membangun pertokoan yang ada saat ini. 

Hanya ingin tahu, apakah debu setiap zaman juga berbeda-beda.

Nuansa kental rona abad ke-19 hanya bisa ditangkap pada tengah malam saat Kota Lama sedang pulas, jalanan lengang sunyi, lampu pertokoan sudah padam dan dilingkupi kesenyapan. 

Saat seperti itu, lapat-lapat kita bahkan bisa mendengar desah nafasnya.

Menggerayangi jendelanya yang usang dengan profil yang tidak pernah kita lihat kini, tidak kita kenali. 

Ia seperti asing, tapi keasingan yang akrab. Keasingan yang aneh, yang melahirkan romantisme dan rindu kesumat.

“Saya hampir setiap hari datang disitu, lewat disitu. Baru sekali ini, dalam sunyi, tenang, saya baru perhatikan baik-baik jendela usang itu,” tutur Arwan Ganda Saputra.

”Seandainya tidak ada kain reklame yang menutup, neon box, saya bayangkan suasananya seperti kita benar-benar berada di tengah zaman itu. View tempo doeloenya kental sekali,” ujar mahasiswa pencinta alam ini.

View Kota Tertatih

Ini bulan April 2010. View Kota Lama siang hari sepintas lalu seperti kota kumal, tertinggal. 

Kota yang lamban, yang merangkak tertatih, terseok-seok. 

Kesan berikutnya, ia seperti pinggiran kota besar. Cepat sekali tidur, jam 11 sudah pulas.

Sekitar awal tahun 90-an, geliat kota bergerak ke Kemaraya, Mandonga, Wuawua dan Anduonohu, seiring perlahan-lahan Kota Lama ditinggalkan. 

Adalah mereka juga sebenarnya yang mengisi pusat-pusat perbelanjaan di kota baru: Wuawua, Mandonga. 

Cucu dan cicit toko Kota Lama. Swalayan Rabam salah satunya.

“Jadi, Kota Lama ini adalah rahim. Rahim yang melahirkan Kemaraya, Mandonga, Wuawua," kisah Muhamad Amin Baharudin, mengenang masa kecilnya di sana.
Bangunan tua juga banyak terdapat di bukit Vosmaer, di mana kediaman kontrolir Belanda dibangun, yang sekarang dijadikan Rujab Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kendari. 

Di bukit itu bertenger masjid dan gereja berdampingan mesra, seperti mesranya Kerajaan Laiwoi-Belanda.

View Teluk Kendari 

Dari bukit Vosmer orang bisa melihat view teluk dengan panorama laut yang indah. 

Ada banyak lokasi ideal menikmati Teluk Kendari, misal, dari bukit Nipanipa di Gunung Jati atau pelataran Masjid Agung di bukti Vosmaer. 

Dalam perspektif jauh, pemandangan dari bukit Nipanipa memang bisa melihat keseluruhan panorama, tapi tidak cukup dekat untuk mencium aromanya.

Dari Masjid Agung, tempat paling nikmat mencumbu kemolekan Teluk Kendari. 

Bulan akan menyembul dari balik gunung dan kita yang berdiri di bukit Vosmaer seolah sama tingginya dengan bulan, berhadap-hadapan. 

Sementara Teluk Kendari persis terhidang di bawah sana dengan atraksi alam yang lain. 

Dari situ kita bisa mengerti Vosmaer memilih bukit itu bukan tanpa alasan.

View Nur Alam

Begitulah adanya, Kota Lama mengoleksi empat petualangan view untuk memanjakan mata wisata pemburu nuansa. 

Yaitu view Vosmaer di mana Kendari Abad ke-19 masih menyisakan jejaknya, kemudian view Kota Tertatih, view teluk, dan view Gubernur Nur Alam.
Yang terakhir ini masih ada dalam otak sang gubernur, dalam pandangan (visi) Nur Alam.

Jembatan Bahteramas, masjid terapung Teluk Kendari, dicanangkan segera hadir tahun ini. 

Kota Lama akan menjadi apa. Dimusnahkankah atau dipertahankan dan cukup ditata sedemikian rupa sehingga menjadi wisata kota lama?

Semua masih bertenger dalam kepala Nur Alam.

“Pernah mau dibongkar tapi tidak jadi karena dianggap kota kenang-kenangan. Tapi sekarang mau dibongkar," kata Frans, salah seorang penghuni Kota Lama.

"Setiap pemerintah kayaknya berganti-ganti kebijakan. Kita ini rakyat menerima saja dia punya gagasan,” sambungnya.

Setiap derap roda pembangunan pasti memercikkan debu-debu polutan. 

Memerihkan mata yang kurang beruntung, menyesakkan rongga hidung, dan tenggorokan yang bernasib malang. 

Di sana, Kota Lama menanti eksekusi Tuan.***

Pembangunan Jembatan Penyeberangan Kota Lama: Perubahan atau Pembunuhan Sejarah?

yes - 15.37
Matahari masih tampak bersahabat dengan aktivitas saya di pagi hari, tepat pada hari selasa, 21 Desember 2010. Letih berdiri menunggu sopir angkot yang berhenti namun tak lama berselang, mobil angkot berwarna biru mudah bertuliskan “The Team” akhirnya menepi. Sungguh hari yang sangat meletihkan dengan perkuliahan hari itu, hingga tidak ada waktu luang istirahat untuk sekedar mengganjal perut. Saya pun mengambil secarik kertas dari binder kecil dan mulai menuliskan sebuah sms untuk teman disebelah tempat duduk saya, bernama Titin. Itukah aktivitas yang pas untuk tidak mengingat waktu, tiga kali kami berdua saling balas-membalas sms yang berisikan berbagai pesan mulai dari rasa lapar, bosan, dan pesan ajakan saya ke Titin untuk menemani saya melakukan observasi ke Kota Lama.

Siang itu, terik matahari semakin menambah perut bergemuruh. Akhirnya kami berdua sepakat untuk singgah di rumah makan bakso solo “Langgeng Roso” bertempat di Kota Lama, sekedar memulihkan stamina karena harus melakukan observasi. Belum juga kami menghabiskan semangkok bakso, suasana awan Kota Lama berubah menjadi gelap. Terpaksa perjalanan kami ke pelabuhan sanggula tempat pembuatan jembatan penghubung antara Kota Lama dan Lapulu itu harus diiringi dengan rintik hujan yang kian lama kian deras.
Sebelum melakukan wawancara dengan masyarakat disekitar pelabuhan sanggula, saya memperhatikan keadaan Kota Lama, di usianya yang kurang lebih 177 tahun itu masih kokoh berdiri bangunan-bangunan tua seperti bioskop lama (teater) yang kini berubah menjadi panti pijat dan juga jejeran rokoh-tokoh cina yang entah kapan berdirinya, namun yang pasti usianya lebih tua dari usia saya. Kini motto Kota Kendari “ Kotaku, kubangun, kumiliki, dan kubanggakan” tersebut rupanya telah mengarahkan pembangunannya di Kota Lama yang menurut sejarah bernama asli Kendari itu. Perubahan yang telah dilakukan pada kota lama, pertama kali pada pembuatan taman kota lama pada tahun 2006. Tujuh tahun lalu taman tersebut disebut dengan “Pohon Beringin” oleh warga sekitar dikarenakan sebab adanya pohon beringin yang besar di tempat itu, namun sebetulnya tempat itu bisa disebut sebagai pelabuhan juga karena biasanya banyak para penumpang terutama para anak sekolah yang hendak pulang ke Lapulu atau Talia menunggu sampan atau papalimbang yang beroperasi di tempat itu. Ada pula pembongkaran barang dari kapal papalimbang beratap yang memuat jambu mete ataupun kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan untuk diambil kandungan minyaknya). Kini, taman kota lama tersebut sudah tidak berjalan secara kondusif lagi. Terlihat pada saat saya dan teman saya datang untuk melihat-lihat keadaan taman kota lama, bunga-bunga yang ditanami kurang bervariasi dan sudah mulai habis serta keadaan pot bunga yang pecah menambah parah pemandangan taman itu.

Karena saat itu kota lama sedang terguyur hujan jadi kami berdua memanfaatkan mobil angkot yang berlalu lalang dihadapan kami untuk pergi ketempat tujuan yakni pelabuhan sanggula. Karena jarak dari taman kota lama kepelabuhan sanggula tidak jauh, maka hanya butuh waktu tiga menit untuk sampai kesana. Ternyata ada beberapa orang yang sedang berteduh di halte, saya menyebutnya dengan tempat persinggahan sekaligus tempat penungguan sanpan (boleh dikatakan begitu) pelabuhan sanggula. Saya dan titin pun mencari tempat kosong untuk berteduh. Didepan saya terlihat beberapa sampan dan juga kapal beratap dengan ukuran lebih besar dibandingkan sampan sedang merapat ke pelabuhan karena tidak dapat berlayar sebab hujan deras yang mengguyur kota lama saat itu.

Banyak orang di tempat penungguan sampan yang hanya beratapkan seng berukuran satu meter setengah itu. Dari raut wajah mereka saya dapat membedakan bahwa ada wajah penumpang yang hendak menyeberang ke lapulu, wajah seorang pembawa papalembang dan juga para pedagang serta orang-orang yang hanya sekadar berteduh dari hujan. Dari sekian banyaknya orang-orang itu saya menghampiri seorang pria yang berkulit agak gelap dan menurut saya pria itu adalah pembawa papalimbang. Namun diluar dugaan, saat saya menyampaikan niat menghampirinya, pria itu hanya tersenyum dan menyuruh saya untuk mewawancarai yang lain saja, bahasa kasarnya ia tidak mau menjadi nara sumber. Penolakan terhadap saya, tidak hanya sampai disitu sopir sampan yang lainnyapun tidak ada yang mau untuk dimintai pendapatnya mengenai rencana pembuatan jembatan penghubung antara kota lama dengan lapulu. Entah apa alasan mereka hingga tidak ingin diwawancarai perihal tersebut. Padahal jika pembuatan itu jadi dilakukan dampaknya lahan pencarian mereka yang akan hilang karena penggusuran. Putus asa rasanya saat itu, namun teman saya membantu mencarikan nara sumber. Akhirnya, seorang pria berperut agak buncit yang notabenenya sebagai seorang yang mampir berteduh mau mengelurkan pendapatnya. Menurutnya, pembuatan jembatan penghubung itu akan diterima dengan baik dan buruk tergantung dari kepentingan masyarakatnya, tanggapan dia pribadi sangat setuju karena itu akan memperlancar sekaligus akan mempercepat akses transportasi antara kota lama dan lapulu.

Usai mewawancarai pria yang sekedar berteduh tadi saya mencari tempat duduk untuk menghilangkan rasa pegal saat berdiri. Tampaknya hujan tidak mendukung perjalanan saya saat itu, tapi saya tidak menjadikannya sebagai sebuah masalah. Persis dibelakang tempat duduk saya, ada seorang bapak yang kira-kira berumur tujuh puluh tahun sedang menutupi dagangannya dengan kardus. Bapak itu rupanya baik hati karena memberikan saya sisa kardus untuk dijadikan alas duduk. Perbincangan dengan bapak itu saya mulai dengan menanyakan dagangan apa saja yang dijualnya, ternyata bapak itu antusias menjawab pertanyaan saya, ia mengungkapkan bahwa dagangannya berupa kopi dan beberapa makanan ringan. Perbincangan kami bertiga pun semakin bertambah akrab, di sela-sela pertanyaan saya mengenai dagangannya, saya menyinggung mengenai pembuatan jambatan penghubung kota lama, dengan ringan bapak itu menjawab bahwa itu sudah wewenang dari pemerintah dan ia hanya bisa pasrah menerima karena menurutnya percuma melawan kehendak pemerintah. Perbincangan kami berlanjut pada sejarah kota lama, ungkapnya kota lama ini dulunya bernama Kendari, karena masih satu lingkup belum ada pemekaran sama sekali. Kota lama (Kendari) dijadikan sebagai ibu kota karena semua pusat belanja seperti pasar, pelabuhan ada di kota lama. namun ia kurang tahu persis kapan terbentuknya kota lama. Dipaparkannya bahwa didepan bioskop lama kota lama terdapat pasar pertama kota Kendari. Ditengah-tengah perbincangan, saya berpikir dalam hati bahwa bapak yang sudah kelihatan tua itu masih bersemangat bercerita. Ditanyai mengenai kompensasi, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena dagangannya tidak memiliki lahan sendiri jadi, ia hanya menunggu kapan akan digusur dari tempat itu.

Hujan tampaknya tidak berhenti sampai pada pukul tiga siang itu, terpaksa saya menunggu sampai hujan reda yang entah sampai kapan. Tidak ada aktivitas yang dapat saya lakukan selain berbincang-bincang kecil dengan bapak tua tadi. Saya memfokuskan lagi pandangan ke sampan-sampan yang sedang berlabuh, ternyata ada satu papalimbang yang hendak menyeberang dengan lima orang penumpang namun tidak lama berselang, papalimbang itu kembali ke tempat semula yakni pelabuhan sanggula karena tidak dapat melanjutkan perjalanan disebabkan hujan yang bertambah deras. Para penumpang papalimbang akhirnya basah kuyup dan terlihat menggigil. Ada pula yang melakukan pepbongkaran gabus ikan karena suidah tidak sabar menunggu redanya hujan. Dalam gabus ikan tersebut, terdapat ikan jenis pari, putih, cakalang, dan boto-boto. Ingin rasanya membeli ikan itu namun karena uang saya tidak cukup jadi saya hanya bisa melihat-lihat pembongkaran gabus ikan-ikan itu.

Sesekali saya melihat ada seorang papalimbang yang melihat kearah saya, mungkin ia melihat tingkah saya waktu mewawancarai tadi. Para pembawa papalimbang terlihat sedang bercerita sambil tersenyum kecil, pikir saya apakah mereka akan terus tersenyum seperti itu pada saat pembuatan jembatan penghubung. Hanya waktu yang bisa menjawab. Hujan rupanya sudah reda, saya pun memutuskan untuk pulang ke rumah karena waktu juga sudah menunjukkan pukul empat sore. Sebelum pulang, tidak lupa saya berpamitan dengan bapak tua yang sudah memberikan banyak informasi itu.

Pencarian data mengenai rencana pembuatan jembatan penghubung tersebut saya lanjutkan pada malam hari. Kebetulan tetangga saya adalah anggota dewan DPRD Kota, saya pun ke rumahnya guna mencari informasi. Setibanya disana rupanya masih banyak tamu yang berbincang-bincang dengan beliau. Saya pun menunggu sampai tamu-tamu itu pergi. Sekitar pukul setengah sepuluh malam, proses wawancarapun berlangsung.
Kedatangan saya di rumah beliau disambut terbuka oleh bapak Alwi. Sempat merasa sungkan karena harus mewawancarai tetangga yang dapat dikategorikan sebagai orang penting, terlebih memiliki otoritas tersendiri dalam lingkup pemerintahan.

Wawancarapun saya mulai dengan memberitahukan latar belakang kedatangan saya ke rumah beliau dan dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan mengenai rencana pembuatan jembatan penghubung antara kota lama dan lapulu. Pertanyaan pertama saya menyangkut pembuatan jembatan yang masih terombang-ambing keberadaan dan kepastiannya, beliau pun menjelaskan bahwa pembuatan jembatan sudah pasti akan dilakukan, dan sekarang pemeritah masih menempuh langkah awal yakni pembebasan lahan serta pengadaan ganti rugi kepada masyarakat yang terkena pembebasan lahan. Yang artinya semua tokoh-tokoh yang ada disekitar pembuatan jembatan itu harus digusur, sungguh malang nasib para penjual emas di kota lama dan para pembelinya, gumamku dalam hati. Lanjutnya lagi, kepastian pembangunan tersebut sudah jelas namun proyek sebesar ini pasti memerlukan anggaran-anggaran bertahap dan butuh waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikan pembangunan tersebut. Disinggung mengenai kompensasi yang telah disiapkan oleh pemerintah, dengan jelas beliau mengatakan bahwa telah disiapkan kompensasi karena pemerintah tidak bisa langsung melakukan pembebasan lahan apabila belum mengganti rugi terhadap masyarakat terkait, dalam hal ini lahan masyarakat yang terkena pembebasan lahan.

Baru dua pertanyaan yang saya ajukan, tiba-tiba handpone bapak itu bordering jadi proses wawancara harus terhenti beberapa menit. Setelah ia meletakkan handponenya, saya pun melanjutkan beberapa pertanyaan yang masih tertunda tadi. Salah satunya yakni tujuan yang paling mendasar atas pembuatan jembatan penghubung itu, dan tujuan yang disebutkan yakni untuk meningkatkan pelayanan transportasi kepada masyarakat, dengan pertimbangan bahwa masyarakat lapulu tidak perlu menghabiskan waktu yang lama untuk menempuh perjalanan ke kota lama, jadi dengan pembuatan jembatan akan mempersingkat serta mempercepat transportasi. Saya pun lanjut menanyakan pertanyaan pamungkas,yakni apakah pembangunan ini sebagai dasar perubahan bagi Kota Lama, ia pun menerangkan bahwa kota lama adalah kota sejarah yang seharusnya tetap dipertahankan model pembangunan serta arsitekturnya namun dengan perkembangan-perkembangan kota sekarang ini sepertinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan apapun yang terjadi perkembangan tidak dapat dicegah dan ditahan, pada prinsipnya perkembangan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Puas dengan hasil wawancara bersama bapak Alwi, saya pun pamit pulang karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Dalam hati saya berkata, terima kasih sebanyak-banyaknya atas semua informasinya pak.

Dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber terkait yang mengalami dan melaksanakan rencana pembuatan jembatan penghubung tersebut, saya pribadi juga sependapat dengan penuturan yang diajukan oleh pak Alwi bahwa perkembangan tidak dapat dicegah dan ditahan karena dampaknya juga untuk kepentingan masyarakatnya. Namun, tidak semua perubahan harus mengorbankan nilai-nilai sejarah yang membangun keeksistensian kota tersebut. Karena hidup belum bermakna tanpa mengenal suatu sejarah. Jadi, jangan lupakan sejarah untuk mencapai perubahan, karena untuk mencapai angka sepuluh kita harus memulainya dari angka nol.

Sumber http://poenyamarta.blogspot.com/2011/06/pembangunan-jembatan-penyeberangan-kota_17.html

bioskop kota, riwayatmu kini...

yes - 15.29


Bangunan ini adalah salah satu saksi kejayaan daerah kota lama di awal pembangunan kota Kendari. Berdiri megah dekat dengan kawasan Pelabuhan Kendari, dulunya bangunan ini merupakan tempat favorit muda-mudi jaman dulu menghabiskan malam minggu, nonton pilem terbaru. Sebut saja Saur Sepuh, ataupun Tutur Tinular. Beberapa poster pilem menghiasi bangunan ini. Dan sekarang, bangunan ini mulai terlupakan. Poster pilem digantikan oleh poster Karaoke dan Pijat Refleksi. Cat dengan warna yang eye catching pun tak membuat gedung ini menjadi perhatian. Dia hanya berdiri saja di situ, dan terabaikan oleh orang-orang yang melewatinya. Biskop kota, riwayatmu kini.

Sumber http://anianeh.blogspot.com/2012/09/bioskop-kota-riwayatmu-kini.html

Kendari Teather Riwayatmu Kini

yes - 15.23
« sepedaku menungguku dan puisi dari seorang teman
“once upon a time in Saponda” dan puisi dari seorang teman »




Agustus 1971, setelah 8 tahun menjadi ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara, untuk pertama kalinya kota kendari memiliki sebuah tempat hiburan malam “modern” di tempat yang representatif di masa itu. Kendari Teather, demikian namanya, sebuah bioskop yang untuk pertama kalinya dimiliki oleh warga kota kendari. Sebuah kemewahan yang mungkin sebelumnya cuma dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga yang kebetulan beruntung dapat menikmatinya di kota besar seperti Makassar ataupun Jakarta.

sekedar menoleh ke belakang

the monument : Philips FP5 "..since 1971.."

Tak pernah ada penelitian tentang seberapa besar pengaruh kehadiran bioskop tersebut terhadap pola kehidupan warga kota kendari saat itu. Namun hampir bisa dipastikan, sebagai satu-satunya tempat hiburan malam yang modern di masa itu, tentulah Kendari Teather menjadi sesuatu yang penting bagi warga kota Kendari. Apa yang baru di Kendari Teather selalu menyita perhatian masyarakat, khususnya generasi muda. Bagaimana tidak, disitulah mereka untuk pertama kalinya menyaksikan bagaimana kocaknya Benyamin Sueb dalam film Intan Berduri atau bagaimana tragisnya peran Slamet Raharjo dan Leny Marlina dalam film Ranjang Pengantin. Belum lagi rancaknya musik dan goyangan film India lewat aktor-aktor Bollywood yang terkenal di masa itu, semisal Amitabh Bachchan dan film-filmnya yang begitu menggoda penonton semisal film Zanjeer, Sholay, dan Deewar serta dahsyatnya bela diri jagoan-jagoan kung fu dari Hongkong seperti Bruce Lee dan Jacky Chan dalam filmnya semisal Fist of Fury dan Snake in the Eagle Shadow. Semua itu secara perlahan dan pasti masuk menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda saat itu. Era 70-an hingga 80-an bisa dikatakan sebagai masa kejayaan dari Kendari Teather. Meski sempat mendapat pesaing dengan dibangunnya gedung bioskop Benteng beberapa tahun setelah kelahirannya, Kendari Teather terbukti mampu bertahan hingga awal tahun 90-an, sedangkan bioskop Benteng sendiri tak mampu melewati era 80-an.
Simon Potta, mengawal mesin proyektor film di gedung Kendari Teater sejak 1971


pita yang tersisa


terpelihara. setiap detil dari mesin proyektor film masih cukup terpelihara


Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan dan perluasan kota Kendari yang justru meninggalkan titik awalnya, perlahan-lahan merengut peran penting Kendari Teater dan kota lama. Kota lama Kendari tidak lagi penting dan Kendari Teater tidak lagi menarik. Kehadiran video dan VCD serta membanjirnya stasiun Televisi yang menyajikan beragam tontonan serta hiburan yang disajikan langsung ke ruang makan pemirsa juga menjadi pukulan yang cukup telak bagi Kendari Teather. Hingga di paruh awal 90-an, ditandai dengan munculnya sebuah gedung bioskop baru yang berada dipusat kota yang baru di kawasan Mandonga serta memiliki fasilitas yang jauh lebih modern dan film-film yang lebih up to date, akhirnya Kendari Teater tak mampu lagi bertahan. Saat ini yang tersisa tinggalah gedungnya yang telah beralih fungsi serta kenangan akan masa silamnya yang sempat menjadi bagian penting dari masyarakat kota kendari.

tak lagi ada antrian penonton di depan gedung


"...sensor.."

Toilet pria


kendari teater, riwayatmu kini



Kendari, 29 januari 2010
Sumber http://arelanophotographic.wordpress.com/2011/03/26/kendari-teater-riwayatmu-kini/
Next
Editor's Choice